Senin, 15 Maret 2010

diagnosa autis

PERLU KEHATI-HATIAN MENEGAKKAN DIAGNOSA AUTISME

Menegakkan diagnosa autisme sesungguhnya tidak mudah, perlu kehati-hatian yang tinggi. Demikian yang dipesankan oleh JK Buitelaar, seorang professor psikiatri anak dari Universitas Nijmegen Negeri Belanda dalam suatu kesempatan ceramah tunggalnya selama dua hari tanggal 28-29 Januari 2006 yang lalu di Jogjakarta.

Selanjutnya, menurut ahli autis kaliber dunia yang sengaja didatangkan oleh Sekolah Lanjutan Autisme Fredofios dibantu oleh Terres Des Homes Nederland ini, mengatakan bahwa kehati-hatian itu sangat diperlukan karena dari hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga autisme di negaranya menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat deteksi autisme yang kini sudah populer di dunia yang disebut CHAT bila digunakan untuk anak di bawah 18 bulan dan DSM IV bila digunakan untuk anak di bawah tiga tahun, penggunaan kedua alat deteksi ini akan menunjukkan kesalahan yang sangat tinggi. Kesalahan akan terjadi terutama terhadap anak-anak bergangguan perkembangan lain bukan autisme seperti anak-anak penyandang cacat inteligensia (mental retarded) dan anak-anak yang terlambat bicara yang juga dengan sendirinya akan mengalami gangguan sosial sebagaimana autisme.

Apa yang ditelitinya itu juga gambarannya tidak banyak berbeda dengan di negara-negara lain. Karena itu ia bersama dengan timnya tengah mempersiapkan alat deteksi autisme yang baru, yang kelak bisa lebih menyempurnakan deteksi dini autisme yang sudah ada. Untuk menghindari kekeliruan deteksi ini, maka diperlukan sekali pemeriksaan secara multidisiplin yaitu dilakukan oleh dokter, psikolog, dan orthopedagog yang sudah terlatih dan ahli.

Hal ini disebabkan karena autisme adalah suatu gangguan yang menyangkut banyak aspek perkembangan yang bila dikelompokkan akan menyangkut tiga aspek yaitu perkembangan fungsi bahasa, aspek fungsi sosial, dan perilaku repetitif. Karena gambaran autisme begitu beragam dan setiap saat seorang anak akan senantiasa mengalami perkembangan, maka penegakan diagnosa tidak bisa begitu saja, sebab bisa saja kemudian diagnosa menjadi berubah-ubah dari waktu ke waktu.

Setelah dilakukan berbagai observasi secara berkala oleh berbagai profesi tadi, disamping juga dilakukan tes psikologi, dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh barulah diagnosa itu boleh ditegakkan. Penegakan diagnosa ini seringkali juga memerlukan waktu yang panjang, enam bulan hingga satu tahun. Namun yang terpenting menurutnya adalah bukan penegakan diagnosa itu tetapi bagaimana kita mampu melihat berbagai gangguan sebagai faktor lemah yang dimilikinya, dan faktor kuatnya. Untuk anak di bawah tiga tahun menurutnya pula sebaiknya jangan mengunakan DSM IV, dan CHAT jangan digunakan juga untuk anak di bawah usia 18 bulan.

Buitelaar juga memperagakan bagaimana mendeteksi dini berbagai gejala autisme melalui alat deteksi yang bersama timnya tengah disusunnya dalam sebuah proyek yang disebut Project SOSO. Alat deteksi dini autisme yang baru ini bernama ESAT (Early Screening Autism Traits), ia memperagakannya dengan menunjukkan film yang sangat menarik. Ia juga memperlihatkan bahwa anak usia di bawah tiga tahun seringkali juga menunjukkan gejala yang mirip dengan penyandang autisme, atau sebaliknya gejala yang ada pada anak autis sering juga ditunjukkan oleh anak-anak yang mempunyai gangguan perkembangan lainnya.

Karena itu disinilah para dokter dan psikolog harus benar-benar mampu mengamati dengan baik. Orang tua diminta untuk dapat mengungkapkan dengan baik bagaimana perilaku anaknya tersebut dengan berpatokan pada gejala-gejala yang ditampilkan oleh anak-anak normal, sehingga dapat diketahui bagaimana penyimpangan yang terjadi. Setidaknya perlu adanya pengamatan berkala setiap tiga bulan, dilakukan evaluasi guna menentukan tindakan apa yang perlu kita perbaharui.

Kelanjutan penyusunan deteksi dini (ESAT) ini adalah, Project SOSO-nya tengah membangun suatu model untuk memberikan intervensi dini yang sesuai dengan keunikan yang disandang oleh setiap anak autisme. Hasil Project SOSO kali ini dinamakan DIANE (Diagnostic Intervention Autism Nederland). Sehingga Project SOSO yang tengah dikembangkannya ini kelak, akan menghasilkan suatu model dalam bentuk tatalaksana screening atau deteksi dini autisme di usia 24 bulan, penegakan diagnosa di atas usia 36 bulan, dan melakukan indentifikasi keunikan setiap anak autis, memberikan panduan dan training intervensi kepada setiap orang tua.

Akan halnya tentang penyebab autisme sampai saat ini menurutnya masih belum bisa diketahui. Namun, banyak sekali publikasi di masyarakat yang justru datang dari pihak-pihak yang tidak didasarkan oleh penelitian ilmiah, seperti yang banyak ditanyakan oleh para peserta. Misalnya penyebab autisme karena thimerosal dalam vaksin, virus vaksin, keracunan logam berat, alergi terutama gluten dan kasein, sistem imun tubuh, dan sebagainya.

Sementara itu para ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang autisme menyatakan bahwa kemungkinan besar penyebab autisme adalah faktor kecenderungan yang dibawa oleh genetik. Sekalipun begitu sampai saat ini kromosom mana yang membawa sifat autisme belum dapat diketahui. Sebab pada anak-anak yang mempunyai kondisi kromosom yang sama akan bisa juga memberikan gambaran gangguan yang berbeda.

Namun para ahli lebih cenderung akan menyatakan bahwa penyebab autisme kemungkinan besar adalah faktor gen yang membawa peranan, hal ini disimpulkan dari hasil penelitian terhadap kembar satu telur yang akan menunjukkan kemungkinan terjadinya gangguan autisme yang lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan kembar dua telur. Autisme adalah gangguan atau kecacatan yang akan disandang oleh individu tersebut seumur hidupnya.

Di kalangan luas juga ada publikasi yang mengatakan bahwa autisme dapat disebabkan berbagai gangguan di tiga bulan pertama kehamilan. Menurut Buitelaar hal ini juga masih belum bisa dikatakan apakah benar demikian, karena penelitiannya belum selesai,dan hasilnya belum ada.

Pertanyaan tentang berbagai pengobatan autisme saat ini yang banyak digunakan bahkan seringkali juga atas anjuran dokter (yang bergerak dalam terapi alternatif), misalnya detoksifikasi untuk menghilangkan racun di otak, diet bebas gluten dan casein, probiotik, megadosis vitamin, hormon, dan sebagainya. Buitelaar menanggapi bahwa karena hingga kini penyebab autisme belum bisa dipahami secara pasti maka para dokter juga belum bisa menentukan obatnya.

Ia menyarankan agar para orang tua tak perlu terkesima dengan reklame komersial yang menyatakan bahwa autisme dapat diobati, sebab menurutnya selain pengobatan model intervensi biologis itu sangat mahal, tidak ada efeknya, juga cukup berbahaya bagi si anak sendiri. Bila dokter memberikan resep obat-obatan psikostimulan, hal itu bukan untuk menyembuhkan autisme, tetapi hanya sekedar untuk mengendalikan emosi dan perilakunya.

Yang terpenting pesannya adalah bagaimana kita harus menanganinya dengan cara melihat faktor lemah dan faktor kuatnya dengan pendekatan psikologi dan pedagogi, yaitu arahkan perilakunya, tingkatkan kecerdasannya, latih kemandirian, ajarkan kerjasama, dan ajarkan bersosisalisasi.

Ia juga menganjurkan jangan berikan obat-obatan psikiatrik atau psikostimulan kepada anak-anak di bawah 6 tahun. Utamakan pendekatan psikologi dan pedagogi, jika cara-cara ini sudah tidak dimungkinkan barulah bisa diberikan obat- obatan. Para orang tua juga berhak menanyakan apa efek samping dan harapan apa yang bisa dicapai dengan menggunakan psikostimulan itu.Karena bagaimanapun reaksi setiap anak terhadap obat akan berbeda-beda, sehingga diperlukan pemantauan yang baik secara rutin. Di samping itu sampai saat ini belum ada penelitian obat- obatan pada anak di bawah usia 6 tahun, sehingga kita masih belum tahu efek jangka panjangnya

http://lita.inirumahku.com/health/lita/ciri - ciri - autisme – bagian – 1/

contoh kasus

Contoh kasus.

kevin

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal. Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.

“Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” kenang Nia perempuan berdarah Sunda itu.

Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya. Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu.

Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan. Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia). Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. “Dokter langsung tahu setelah memeriksa tingkah laku Kevin,” jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi rutin.

Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. “Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih belum mapan secara finansial dan pengalaman,” kata Nia. Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin. Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. “Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan keadaan yang belum mapan,” kata Nia.

Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. “Selama satu tahun Kevin kami rawat di rumah, tanpa bimbingan medis,” katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya dengan mengandalkan buku-buku dan video. Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta, memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI, yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu yan juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya, juga orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.

Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. “Bisa mandiri saja sudah cukup,” pinta Nia. Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar) sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun untuk melakukan hal semudah apapun. Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya. Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. “Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis,” jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan. “Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan,” katanya.

Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur. “Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain,” tambahnya. Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal. Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak. “Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis,” katanya dengan raut wajah sedih. Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. “Saya dan suami akan merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah tanggungjawab kami sebagai orangtua.” Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Apakah autis bisa disembuhkan? Semua orangtua seperti Nia pasti mengharapkan jawaban yang sama, yaitu: ya. Ini pulalah yang menjadi dasar keyakinan mereka sehingga berbagai upaya pun mereka tempuh.

Õ Cara penanganan.

Penanganan autis sejauh ini dilakukan dengan terapi, seperti terapi perilaku, wicara dan sensori (okupasi). Upaya lain adalah mencari gangguan metabolisme yang mungkin menjadi menjadi faktor pencetus gejala autis. Dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah, faecus, urine dan rambut (terapi biomedis). Inilah upaya yang juga dilakukan YAKARI sejauh ini. Namun Arief Budi Santoso, konsultan pendidikan di yayasan itu mengatakan, berhasil tidaknya upaya itu tak lepas dari peran orangtua sendiri. Sebab orangtualah orang yang terdekat dengan anaknya. Arief menjelaskan contoh kasus yang pernah dialami Catherine Maurice, seorang ibu yang memiliki tiga anak yang sama-sama mengidap autis. Seorang ibu yang terbilang berhasil hingga bukunya (“Let Me Hear Your Voice”), banyak menjadi acuan terapi bagi seluruh orangtua yang memiliki anak autis di seluruh dunia. “Catherine telah membuktikannya, “jelas Arief.

http://tonggo.wordpress.com/2007/08/30/anakku-mengidap-autis/

terapi untuk anak autis

Terapi Untuk Anak Autistik

Sesuai dengan problema yang dialami anak gangguan autisik, maka terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Bagi orang tua anak dengan kelainan ini disarankan oleh para ahli untuk menggunakan metode ABA dengan rutin dan disiplin. Terapi juga harus dilakukan sedini mungkin, sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para ahli adalah:

1. Terapi Biomedik

Terapi ini dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Mereka menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Karena itulah, terapi biomedikfokus pada pembersihan fungsi-fungsi abnormal pada otak. Anak-anak akan diperiksa secara intensif. Dengan terapi ini diharapkan fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja dengan lebih baik sehingga gejala autisme berkurang atau bahkan menghilang.

Obat-obatan juga digunakan untuk penyandang autisme, namun sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati, sebaiknya ketika menggunakan jenis obat diserahkan kepada Dokter Spesialis yang lebih memahami dan mempelajari autisme. Beberapa food suplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini untuk anak autisme adalah vitamin B6, TMG, Omega-3, Magnesium, dan sebagainya.

Terapi biomedik melengkapi terapi lainnya dengan memperbaiki “dari dalam” (biomedis). Dengan penggunaan obat, diharapkan perbaikan akan lebih cepat terjadi. Dengan menggunakan terapi dari dalam dan luar diri, ternyata banyak anak yang mengalami kemajuan cukup bagus.

2. Terapi Okupasi

Sesuai dengan problem yang dialami anak gangguan autistik, yaitu pada aspek motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, produktivitas, maka kegiatan terapi okupasi diarahkan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

Treatment yang dilakukan dengan menggunakan sensori integrasi (Ayers), neurodevelopment treatment (Bobabth), modifikasi perilaku, dan terapi bermain.

a. Motorik

Treatment terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan pada aspek motorik. Kegiatan yang dapat diberikan berupa:

1. Bermain bola

Tujuan umum mengembangkan kemampuan motorik agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus memberikan keterampilan motorik kasar melalui kegiatan bermain.

b. Sensorik

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan pada aspek sensori, kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Berayun-ayun

Tujuan umum mengembangkan kemampuan sensorik agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus mengurangi hiperrespon dan hiperaktif.

2. Berjalan mengikuti garis tengah lurus

· Tujuan umum :

Mengembangkan kemampuan sensorik agar dapat berkembang seoptimal mungkin.

· Tujuan Khusus :

Meningkatkan body awareness

3. Bermain scooter board

Tujuan umum mengembangkan kemampuan sensorik agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus meningkatkan keterampilan hubungan spasial

c. Kognitif

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan pada aspek kognitif, kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Melihat-lihat gambar mobil

Tujuan umum mengembangkan kognitif agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan Khusus meningkatkan fokus aktivitas dan mendengarkan instruksi

2. Memainkan plastisin

Tujuan umum mengembangkan kognitif agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan Khusus memusatkan perhatian

d. Intrapersonal

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan pada aspek Intrapersonal

, kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Bermain Form Board

Tujuan umum mengembangkan aspek intrapersonal agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus mengurangi stress

2. Melukis

Tujuan umum mengembangkan aspek intrapersonal agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan Khusus mengurangi perilaku repetitif

e. Interpersonal

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan aspek interpersonal, kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Berolahraga

Tujuan umum mengembangkan aspek interpersonal agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus mengembangkan kemampuan sosial melalui olahraga

f. Perawatan diri

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan aspek perawatan diri. Kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Membersihkan Tempat Tidur

Tujuan umum mengembangkan aspek perawatan diri agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan Khusus meningkatkan kemandirian dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari.

2. Menyisir rambut

Tujuan umum mengembangkan aspek perawatan diri agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus meningkatkan kemandirian dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari.

g. Produktivitas

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan aspek produktivitas. Kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Bermain kelereng

Tujuan umum mengembangkan aspek produktivitas agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan Khusus meningkatkan keterampilan bermain yang kooperatif.

h. Leisure (pengisian waktu luang)

Terapi okupasi untuk membantu mengembangkan aspek leisure, kegiatan yang dapat diberikan melalui:

1. Memelihara ayam

Tujuan umum mengembangkan aspek leisure agar dapat berkembang seoptimal mungkin. Tujuan khusus mengembangkan minat anak.

3. Terapi Integrasi Sensoris

Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna meningkatkan kematangan susunan syaraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktivitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar.

4. Terapi Bermain

International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, mendefinisikan Terapi Bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal. Pada terapi ini, terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan, perkembangan yang optimal.

Terapi bermain adalah pemanfaatan pola permainan sebagai media yang efektif dari terapis, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain merupakan bagian integral dari masa kanak-kanak, salah satu media yang unik dan penting untuk memfasilitasi perkembangan:

· Ekspresi bahasa,

· Keterampilan komunikasi,

· Perkembangan emosi, keterampilan sosial,

· Keterampilan pengambilan keputusan, dan

· Perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001).

Bermain merupakan bentuk ekspresi yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dalam hal:

a. Ditujukan demi kesenangan sendiri

b. Lebih fokus pada makna daripada hasil akhir

c. Diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek

d. Tanpa mengharapkan hasil serius

e. Tidak diatur oleh aturan eksternal

f. Adanya keterikatan aktif dari pemainnya.

Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa permainan haruslah:

a. Menyenangkan

b. Spontan, sukarela, motivasinya instrinsik

c. Fleksibel dan

d. Berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.

Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu:

a. Tipe dan jumlah permainan yang digunakan

b. Konteks permainan

c. Partisipan yang terlibat

d. Urutan permainan

e. Ruang yang digunakan

f. Gaya bermain

g. Tingkat usaha yang dicurahkan.

Terapi bermain yang dilakukan dapat dengan berbagai cara seperti:

1. Mainan kehidupan nyata, yaitu boneka yang terdiri atas keluarga (Bapak, ibu, anak), boneka rumah-rumahan, binatang peliharaan atau tokoh kartun dapat menjadi media untuk mengekspresikan secara langsung. Terapis dapat menggunakan mainan keseharian seperti mobil-mobilan, alat masak-memasak tiruan, kartu bergambar, atau kapal-kapalan untuk melihat pengalaman hidup klien.

2. Mainan pelepas agresivitas-bermain peran, klien dapat mengkomunikasikan emosi yang terpendam melalui mainan, atau materi seperti karung tinju, boneka tentara, boneka dinosaurus dan hewan buas, pistol dan pisau mainan.

3. Mainan pelepas emosi dan ekspresi kreativitas, Pasir, air, balok atau lilin dapat menjadi sarana anak mengekspresikan emosi atau kreativitasnya.

5. Terapi Perilaku

Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan yang kekurangan (belum ada) ditambahkan. Termasuk ke dalam jenis terapi ini adalah metode Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespon benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespon negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespon sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Diharapkan perlakuan ini dapat meningkatkan kemungkinan anak agar berespon positif dan mengurangi kemungkinan dia berespon negatif (atau tidak berespon) terhadap instruksi yang diberikan.

Misalnya: ketika anak diminta untuk duduk atau anak mampu untuk menulis sesuai perintah maka dengan otomatis kita memberikan sikap positif, bisa dengan mengajak dia “tos” atau bertepuk tangan sambil mengatakan “bagus” atau “pinter”.

Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Dari terapi ini hasil yang didapatkan signifikan bila mampu diterapkan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

6. Terapi Fisik

Beberapa penyandang autisme memiliki gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya juga kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-otot dan memperbaiki keseimbangan tubuh anak.

7. Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, materi speech terapy sebaiknya dilakukan berkolaborasi dengan metode ABA. Selain itu mereka juga harus memahami langkah-langkah dalam metode Lovaas sebagai dasar bagi materi yang akan diberikan.

Terapis wicara adalah profesi yang bekerja pada prinsip-prinsip dimana timbul kesulitan berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapis wicara dapat diminta untuk berkonsultasi dan konseling mengevaluasi; memberikan perencanaan maupun penanganan untuk terapi; dan merujuk sebagai bagian dari tim penanganan kasus.

Terdapat beberapa gangguan komunikasi pada penderita autis, Salah satunya adalah Autistic Spectrum Disorders (ASD). Gangguan komunikasi ini bersifat verbal, non verbal, maupun kombinasi.

Area bantuan dan terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara:

1. Artikulasi atau pengucapan : Artikulasi atau Pengucapan menjadi kurang sempurna disebabkan adanya gangguan. Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat Pengucapan (Place and Manners of Articulation). Kesulitan pada artikulasi atau pengucapan, dibagi menjadi: substitution (pergantian), misalnya: rumah menjadi lumah, i/r; omission (penghilangan), misalnya satu menjadi atu; distorsion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas; dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.

2. Untuk organ bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya fungsional, terapis wicara akan mengikutsertakan latihan

· Oral peripheral Mechanism Exercises

· Oral Motor Activities : merupakan sebuah aktivitas yang melatih fungsi dari motorik organ bicara pada manusia, sesuai dengan organ bicara yang mengalami kesulitan.

3. Untuk bahasa: aktivitas yang menyangkut tahapan bahasa antara lain:

· Phonology (bahasa bunyi)

· Sematics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;

· Morphology (perubahan pada kata) ;

· Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;

· Discourse (Pemakaian bahasa dalam konteks yang luas) ;

· Metalinguistics (Bagaimana sebuah bahasa bekerja) ;

· Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).

Sudjarwanto. (2003). Terapi okupasi untuk anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

problema anak autis

Problema Anak Autistik

Anak yang mengalami gangguan autistik mengalami permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan tersebut meliputi; motorik, sensorik, kognitif, intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, produktivitas, serta leisure (Reed 1991).

1. Motorik

· Stereotipik gerakan tubuh seperti menjentik tangan, menjedotkan kepala, berayun-ayun dan berputar-putar. Perilaku ini diklasifikasikan sebagai self stimulating atau perilaku self abusive.

· Keterampilan motorik kasar dan halus yang buruk.

· Respon terhadap stimulus reflek tertunda.

· Penurunan tonus ekstensor dan atau fleksor.

· Kontraksi dan stabilitas sendi yang buruk, khususnya pada otot leher.

2. Sensorik

· Biasanya sistem sensorik tidak terganggu, tetapi respon input (sensory registrasi) dirubah dari perilaku hiperresponsif ke hiporesponsif.

· Deaffnes (ketulian) sering disebut karena anak tidak berespon atau terlambat dalam merespon suara manusia.

· Tidak berespon terhadap sentuhan tetapi mencapai input taktil.

· Tidak melihat manusia tetapi berespon terhadap objek secara cepat.

· Tidak berespon terhadap nyeri.

· Tidak berespon terhadap stimulus visual dan auditif tetapi overrespons terhadap stimulus visual dan dan auditif yang lain.

· Mencari stimulus vestibular ketika menghindari stimulus lain.

· Hubungan spasial yang buruk.

3. Kognitif

· Intelegensi berkisar antara normal sampai dengan retardasi mental berat.

· Anak dengan intelegensi dibawah 50 mempunyai prognosis yang buruk.

· Gangguan belajar biasa terjadi seperti disleksia.

· Attending behaviour dan perilaku penyesuaian diri serta kontak mata yang

buruk.

· Rentang atensi yang pendek dan konsentrasi yang buruk.

4. Intrapersonal

· Menunjukkan perlawanan yang kuat untuk mengubah lingkungan yang responnya dengan menangis dan berteriak.

· Menolak saat mengikuti rutinitas secara detil.

· Melakukan tindakan berulang-ulang atau presevarete certain behaviour, seperti berputar-putar.

5. Interpersonal

· Kurang sadar dengan keberadaan atau perasaan seseorang.

· Gagal dalam mengatasi stress.

· Mengakukan badan saat diangkat.

· Mencegah kontak mata.

· Idiosyncratic speech, seperti ekolalia.

· Kedekatan yang kuat terhadap objek tetapi tidak terhadap manusia.

· Ketidakmampuan mengimitasi perilaku sosial.

6. Perawatan diri

· Kurang mampu melakukan aktivitas perawatan diri.

7. Produktivitas

· Susah belajar untuk melakukan tugas yang dikehendaki.

· Tidak mempunyai keterampilan dalam bermain sosial dan lebih menyenangi bermain.

8. Leisure

· Memiliki kesulitan dalam mengembangkan minat.

Sudjarwanto. (2003). Terapi okupasi untuk anak berkebutuhan khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

gejala dan gangguan

Gejala dan gangguan

Secara terperinci Powers (dalam Djamaludin: 2003) mengemukakan, bahwa karakteristik anak autis adalah adanya 6 (enam) gejala/ gangguan, yaitu dalam bidang:

1. Interaksi sosial:

· Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

· Lebih suka menyendiri.

· Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.

· Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta minum.

2. Komunikasi (bicara, bahasa dan komunikasi)

· Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

· Senang meniru atau membeo (ekolalia).

· Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah berbicara tetapi kemudian sirna.

· Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

· Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.

· Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.

· Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.

· Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.

3. Pola bermain

· Tidak bermain seperti pada anak-anak pada umumnya.

· Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda, gasing.

· Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik, rodanya diputar-putar.

· Tidak kreatif, tidak imajnatif.

· Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.

4. Gangguan sensoris

· Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.

· Sering menggunakan indera penciuman dan perasanya, seperti senang mencium-cium, menjilat-jilat mainan atau benda-benda.

· Dapat sangat sensitive terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.

· Tidak sensitive terhadap rasa sakit, rasa takut.

5. Perkembangan terlambat atau tidak normal

· Perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya dalam hal keterampilan sosial, komunikasi dan kognitif.

· Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat bicara kemudian hilang.

6. Penampakan gejala

· Gejala diatas dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala sudah ada.

· Pada beberapa anak sekitar usia 5-6 tahun gejala tampak agak berkurang.

Selain karakteristik seperti disebutkan diatas, gejala lain yang sering nampak pada anak autistik adalah dalam bidang :

1. Perilaku:

· Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang mengepakkan tangan seperti burung, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

· Tidak suka pada perubahan.

· Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.

2. Emosi

· Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan.

· Temper tentrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.

· Kadang suka menyerang dan merusak.

· Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.

· Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

karakteristik autis

Karakteristik

Untuk menentukan autisme bukanlah hal yang mudah, sebab gejala autisme tampak mirip seperti skizofrenia, mental retardation, sindrom asperger dan lainnya, oleh sebab itu untuk mengidentifikasi yang betul-betul akurat perlu dilakukan bermacam-macam tes. Edi (2003) mengemukakan bahwa untuk mendiagnosis autisme perlu bermacam-macam tes kesehatan seperti :

1. Pemeriksaan pendengaran

2. Electroenchepalogram (EEG)

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

4. Computer Assisted Axial Tomography

5. Tes Genetik

Mendasarkan bermacam-macam tes kesehatan tersebut dan dilakukan pengamatan maka dapat dikatakan autis jika terbukti :

1. Hubungan sosial yang terbatas dan buruk

2. Keterampilan komunikasi belum sempurna

3. Perilaku berulang-ulang, minat dan aktivitaspun berkurang

Untuk mendiagnosis anak autisme hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli yang cukup berpengalaman seperti; psikolog perkembangan anak, dokter spesialis perkembangan anak, dan psikiater anak. Menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual, 1994) anak didiagnosis menyandang autis jika mempunyai gejala:

A Harus ada 6 gejala dari (1), (2), (3),dengan minimal 2 gejala dari (1) dan 1 gejala dari (2) dan (3).

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial dan timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dibawah ini:

a. Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang cukup memadai kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju.

b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

c. Tidak empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain).

d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu dari gejala-gejala dibawah ini :

a. Perkembangan terlambat atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal.

b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi.

c. Sering menggunakan bahasa aneh yang di ulang-ulang.

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajnatif dan kurang dapat meniru.

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada satu gejala-gejala dibawah ini :

a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan.

b. Terpaku pada suatu kegiatan dan yang rutinitas yang tidak ada gunanya.

c. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.

d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

B Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) Bicara dan berbahasa, (3) Cara bermain yang monoton, kurang variatif.

C Bukan disebabkan oleh Sindrome Rett atau gangguan disintegratif masa kanak.

Anak autistik menunjukkan kondisi yang heterogen dari tingkatan ringan, sedang, sampai yang berat. Untuk menentukan berat ringannya autisme pada anak dapat dilakukan pengukuran. Sapiie (2000) mengemukakan untuk menentukan berat ringannya autisme anak dapat dilakukan dengan menggunakan The Childhood Autism Rating Scale (CARS). Untuk mengobservasi tingkah laku anak sebaiknya dibandingkan dengan anak normal seumurnya. Jika tingkah laku yang diobservasi tidak normal untuk anak seumurnya maka harus dipertimbangkan sejauh mana keanehannya, frekuensinya, intensitasnya dan lamanya tingkah laku tersebut.

The Childhood Autism Rating Scale (CARS) terdiri dari 15 butir yaitu :

1. Relasi atau hubungan dengan orang lain; yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan orang lain dalam berbagai situasi. Misalnya menghindar menatap orang dewasa, tidak respon kepada orang tua sebagaimana anak lain.

2. Imitasi ( meniru ) yaitu bagaimana anak menirukan kata atau suara perilaku, apakah harus dengan dorongan, paksaan atau sama sekali tak pernah menirukan.

3. Respon emosional, yaitu bagaimana reaksi anak terhadap situasi yang menyenangkan, misalnya ketika dipeluk-cium, dipuji, digelitik, diberi mainan / mainan kesukaannya.

4. Penggunaan badan / tubuh baik untuk gerakan koordinasi maupun gerakan-gerakan yang lain sesuai dengan keadaan ; misalnya ketepatan sikap dan gerakan tubuh, jinjit, memutar, tepuk tangan, menari, bermain, menggambar, menggunting dan sebagainya.

5. Penggunaan benda-benda ( objek ) yaitu minat anak terhadap mainan atau benda lain serta bagaimana anak menggunakannya . Perhatikan bagaimana anak berinteraksi dengan mainan dan objek lain terutama pada aktivitas yang tidak terstruktur. Perhatikan dengan seksama bagaimana anak menggunakan mainan yang berjuntai atau putaran, apakah terjadi keasyikan dan pengulangan yang berlebihan.

6. Adaptasi terhadap perubahan; yaitu adaptasi terhadap perubahan hal-hal yang telah rutin atau telah terpola , dan kesulitan mengubah suatu aktivitas lain. Misalnya bagaimana reaksi anak terhadap perubahan penataan mebel , pergi dengan rute berbeda, penggantian pengasuh / guru dan sebagainya.

7. Respon visual; yaitu pola-pola perhatian visual yang tidak lazim, misalnya menghindari kontak mata ketika berinteraksi dengan orang tua atau melihat objek / mainan dari sudut yang tidak lazim.

8. Repon mendengarkan, yaitu perilaku mendengarkan yang tidak biasanya atau respon yang tidak lazim terhadap bunyi-bunyian termasuk reaksi anak terhadap suara orang dan jenis-jenis suara lain . Misalnya anak seolah-olah tidak mendengar suara yang sangat keras, tetapi pada waktu yang lain bereaksi terhadap suara yang biasa.

9. Respon kecap ( pengecapan ), mencium ( membau ) dan raba; misalnya bagaimana respon anak terhadap rangsangan kecap, bau, dan raba, misalnya penolakan atau minat berlebihan terhadap bau , rasa dan bentuk tertentu dari makanan atau bentuk maian tertentu.

10. Ketakutan dan kegelisahan; yaitu rasa takut yang tidak wajar dan tidak semestinya, misalnya ketakutan yang berlangsung terus terhadap objek yang secara normal tidak menakutkan atau tidak takut terhadap sesuatu yang ditakuti anak normal.

11. Komunikasi verbal ( kata ); perhatikan anak dalam menggunakan kata dan cara berbicara, amati perbendaharaan kata, struktur kalimat, volume dan ritme suara. Apakah memperlihatkan keanehan, tidak tepat atau kacau.

12. Komunikasi non verbal ; yaitu komunikasi dengan penggunaan ekspresi /mimik muka, sikap tubuh dan gerak tubuh, serta respon anak terhadap komunikasi non verbal dari orang lain. Apakah anak dapat menunjuk dan menjangkau sesuatu yang mereka inginkan, apakah hanya menggunakan isyarat yang kacau dan aneh. Apakah anak tidak menunjukkan perhatian pada isyarat dari orang tua / anak lain.

13. Derajat aktivitas; yaitu seberapa anak bergerak baik dalam situasi yang dibatasi maupun yang tidak dibatasi . Apakah aktivitasnya berlebihan atau tampak lesu. Perhatikan tingkat aktivitas anak yang teratur dan tekun . Jika lesu apakah anak bisa diberi semangat untuk beraktivitas dan seberapa banyak orang tua harus memberi semangat dan dorongan agar anak mau beraktivitas. Jika aktivitasnya berlebihan apakah bisa diberitahu untuk menjadi tenang dan duduk diam. Dalam penilaian ini perlu dipertimbangkan faktor kelelahan dan efek medik.

14. Derajat dan konsentrasi respon intelektual. Perhatikan bagaimana anak mengerti dan menggunakan bahasa, angka, dan konsep, bagaimana kemampuannya dalam mengingat benda-benda yang pernah ia lihat atau dengar serta bagaimana anak menjelajahi lingkungannya.

15. Kesan umum, yaitu kesan subjektif observer tentang anak

Anak autisme mempunyai gambaran unik tersendiri. Intelegensia tiap anak autis berbeda satu dengan lainnya. Diperkiraan 60% anak autis mempunyai intelegensia dibawah 50 . 20 % , anak autis mempunyai 70 atau lebih. Sutadi (1997 ) mengemukakan karakeristik anak autistik meliputi kecendrungan:

1. Selektif berlebihan terhadap rangsang yaitu kemampuan terbatas dalam menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan.

2. Kurangnya motivasi, tidak hanya mereka sering menarik diri dan asik sendiri, mereka juga cenderung tidak termotivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, untuk memperluas lingkup perhatian mereka.

3. Respon stimulasi diri; jika diberi kesempatan banyak penyandang autistik yang yang menghabiskan sebagian besar waktu bangun/ terjaganya pada aktivitas non produktif tersebut. Perilaku tersebut selain mengganggu integrasi sosial juga menggangu proses belajar. Oleh sebab itu menurunkan perilaku stimulasi diri dan menggantikannya dengan respon yang lebih produktif sering merupakan tujuan bagi anak autistik.

4. Respon unik terhadap hadiah (reinfocement) dan konsekuensi lainnya; ini merupakan karakteristik dari penyandang autistik, sehingga hadiah amat individualistik, kadang sukar diidentifikasi. Pada anak autistik belajar paling efektif pada kondisi imbalan langsung. Supaya memperoleh imbalan langsung seorang anak harus secara benar merespon pada suatu rangkaian perilaku.